Senin, 02 Desember 2013

KETEDUHAN


Kala matahari menggantung sempurna di atas sana, hanya terik yang kurasa. Aku butuh tempat berteduh, menjauh dari terik yang semakin hari semakin menyakitiku. Aku ingin bersembunyi, meninggalkan panas yang semakin hari semakin menggerogoti keteduhan hatiku.

Aku singgah pada sebuah gubuk mungil. Ada sebuah pohon berdiri dengan gagahnya di sana. Kini sepoi angin mulai kurasakan. Sejenak terasa sejuk. Perlahan angin-anginnya menerobos celah dada yang mulai terasa pilu. Tapi ternyata kesejukan itu hanya bertahan sesaat. Lantas kesejukan itu hilang begitu saja. Angin pun seolah berhenti berhembus. 

Akhirnya kuputuskan untuk berdiam diri. Aku hanya mengurung diri, menyendiri, dan benar-benar sendiri. Ternyata kusadari aku tak bisa berlama-lama dalam kesendirian. Tak ada seorang pun yang kuajak bercerita, bahkan angin pun memilih pergi. Aku berteriak, ingin sesuatu di sana ada yang mau mendengarkan ceritaku, tapi alam pun seolah tak peduli lagi.

Aku merindukan keteduhan yang dulu sempat hadir. Ia mampu membuatku tersenyum, bahkan aku mampu tertawa lepas. Ia dengan senang hati mendengarkan segala keluh kesahku. Sesekali ia hadir bersama sekawanan angin, meniupkan aroma kedamaian. Kini singgasanaku terasa benar-benar kering, hampa, tak ada warna di sana. Hanya kelabu yang sanggup kubaca.

Aku tak tahu lagi kemana harus berlari. Keteduhan itu tak akan bisa kutemui lagi, tapi aku yakin akan ada keteduhan baru yang lain. Atau mungkin aku harus berlari ke puncak gunung tertinggi untuk memperoleh keteduhan seutuhnya. Jawabannya tentu saja tidak, karena keteduhan seutuhnya bersumber dari dalam hati.


Aku menemukan untaian kata ini di catatan handphoneku, kutulis di sudut malam kala itu, Juni 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar