Udara memasaikan dingin, keheningan bermain-main di anak rambutku.
Angin menyelinap masuk, membawa sunyi menembus kalbu.
Ada yang tercecer di jalan ini, seperti kenangan, seperti harum parfummu yang menguar - menguasai hidungku.
Aku mengenalinya, umpama mengenal seribu wajah yang sesekali tersenyum lalu tertunduk murung di trotoar, di bawah lampu jalan, di balik etalase toko - menawarkan mimpi.
Dan seketika itu aku merasakan rindu itu teramat dekat dengan tubuhku.
Ujung bibirku bergetar, ada angin rindu yang menyentuhnya.
Menyayat kulit yang mulai perih.
Nadiku mengalir darah kehampaan.
Jantungku memompa dinginnya kelam.
Begitulah rindu menguasai sekujur tubuhku.
Di penjuru ruangan itu, masih ada suaramu ternyata.
Menjadi ornamen bagi sudut tajam figura.
Barangkali di sanalah mestinya aku memulangkan segenap kata-kata,
bagi rindu yang tak pernah tau dimanakah muaranya.
Bayangmu pun begitu nyata kulihat.
Menghiasi langit-langit kamarku, menjadi lukisan pengantar tidur.
Di sana aku juga bercerita tentang rindu yang tak terbalas - kandas di garis buku harian.
Kolaborasi puisi bersama Kurnia Hidayati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar