Kali ini aku membenci malam, karena ia berhasil menumbuhkan bunga yang sudah layu - tak lagi layak hidup. Aroma tanah pun tercium, hujan menyuburkan kembali tandus. Terlihat ada sorot lampu menyilaukan, menampakkan indah kelopak bunga. Akar-akarnya semakin kuat menopang. Ah semakin tumbuh subur rupanya.
Angin membawa kembali aroma parfummu yang sudah kuhilangkan dengan susah payah, aroma parfum yang selalu menempel pada selendang yang kukenakan - ketika jumpa denganmu. Dari dulu air tak pernah bisa menghilangkan noda yang kau tinggalkan, disiram berkali-kali pun masih jelas terlihat noda yang sama. Sepasang sepatu masih terpampang pada rak sepatu, selalu kubiarkan pada posisi yang sama - ada bekas lumpur di sana, tak pernah kucoba untuk membersihkannya. Biarlah aku tetap mengingat setiap bercak yang kau ciptakan, tetapi heran juga mengapa aku begitu menikmati, meski tahu hanya kotor yang kupandang.
Pekarangan belakang rumah terlihat semakin kotor, padahal selalu kubersihkan setiap hari. Hingga suatu hari aku lelah membersihkannya, lalu aku memilih untuk meninggalkannya, maaf aku lelah. Aku lebih senang berkunjung pada kebun tetangga yang lebih asri. Nyatanya seindah apapun ia, ada kenyamanan berbeda yang kurasa. Sesekali aku masih menengok pekaranganku, bukan untuk memilikinya kembali, hanya ingin memastikan ia baik-baik saja. Suatu hari aku melihat ada gadis belia yang sedang membersihkannya, entah apa motivasinya melakukan semua itu. Setidaknya kini pekarangan belakang rumah nampak lebih bersih, dan aku turut bahagia.
Bercerita pada malam yang tiba-tiba menghadirkan rindu. Angin datanglah, terbangkan kembali ingatanku tentangnya. Aku membenci
setiap detil ingatan tentangnya, karena ia betah berlama-lama singgah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar