Aku tertatih, melewati jalan terjal bebatuan. Aku terseok, melewati setapak sempit yang penuh dengan ilalang. Terluka oleh duri, tersengat serangga, bahkan bebatuan menggores luka pada lututku. Aku sudah biasa bertegur sapa dengan luka. Biarkan aku bertahan di jalan ini, meski sakit yang selalu kutemui, tenang saja aku selalu menemukan penawar luka.
Aku menatap hamparan padang pasir, terlalu kering. Tak akan kutemukan air di sini, hanya terik yang kurasa. Panasnya semakin menyayat kulit, membuka pori-pori yang mulai terasa perih. Duri-duri kaktus menyapa telapak kaki yang masih halus. Debu berhamburan menyerbu muka yang nampak berseri. Angin berhembus menyentuh relung yang mulai berapi, selalu ada kesejukan di balik panasnya suasana.
Aku menjadi saksi di musim gugur. Menemani daun-daun berjatuhan, berpamitan pergi pada ranting tempatnya bergantung hidup selama berhari-hari. Menyaksikan bunga yang berpisah dengan tangkainya, merasa tidak rela melihat sesuatu yang indah harus pergi. Aku menjadi saksi setiap perpisahan, aku ikut berduka. Kini yang kutatap hanyalah kehampaan. Fase sebagai saksi berubah menjadi sebagai penanti. Aku menantikan musim berganti. Kuncup bunga yang baru mulai bermekaran, ranting-ranting yang sudah bersanding dengan daun baru. Suasana baru lebih berwarna.
Aku sudah terbiasa melewati semuanya, sendiri. Di tengah perjalanan, sesekali ada teman menyapa, berbagi tawa, bertukar cerita. Sesekali bertemu sosok-sosok baru di persimpangan jalan, menatap, memberi senyum sembari menunduk, ijin pamit untuk sekedar lewat. Banyak tokoh yang mengisi jalannya cerita, datang silih berganti. Kini aku hanya menanti tokoh utama dalam cerita. Sosok yang mampu membimbing setiap langkahku menuju singgasana abadi nan kekal. Terlihat seseorang sedang berdiri menantiku di ujung jalan sana, akan mengakhiri sebuah cerita. Akhir bahagia. Bersama selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar