Diam – diam aku bersembunyi di balik
jendela kamarku. Malu – malu menyapa mentari yang mulai menampakkan diri.
Menikmati hangatnya sinar, yang perlahan berubah menjadi terik yang menyengat.
Lantas aku menanti kapan mentari akan tenggelam, membawa pergi panasnya yang
menyiksa. Hidupku beku, hanya dipenuhi oleh penantian – penantian yang tak
kunjung melebur.
Januari. Aku mulai lelah berada di
persembunyianku. Aku ingin berhenti, namun kakiku masih terus melangkah. Hingga
ada jejak-jejak baru yang kutinggalkan.
Februari. Angin mulai geram,
menghempaskan segala asa yang hanya menimbulkan tanya. Mencampakkan segala
harapan yang hanya menjadi angan-angan.
Maret. Aku memberanikan diri untuk
melangkah pergi. Meninggalkan cerita – cerita lalu yang telah tercipta. Membiarkan
semua impian terpendam. Mati.
April. Ada sentuhan lembut yang
menarikku untuk kembali. Membukakan pintu yang sama, yang dulu pernah kututup
dengan paksa. Membimbing jalanku supaya aku tak salah arah.
Mei. Aku ingin mati rasa. Mematikan
segala rindu yang berusaha menyelinap masuk. Lagi-lagi jemari yang sama mendekap
semua rindu yang semakin menggebu – gebu.
Juni. Aku dibuatnya terbang melayang.
Merasakan indahnya musim gugur. Bunga – bunga yang layu pun mulai digantikan
dengan bunga – bunga baru yang lebih elok.
Juli. Banyak angan yang mulai
berkeliaran. Berjalan sesuka hati, mengunjungi setiap sudut yang menarik. Angan
yang mulai berkembang menjadi harapan akan masa depan.
Agustus. Tangan yang dengan kuat
merengkuhku, tiba – tiba genggamannya melemah, melepaskanku perlahan, kemudian
mendorongku dengan hati-hati. Aku tersungkur, menyisakan luka – luka, yang aku
sendiri tak tahu kapan akan mengering.
September. Luka – luka yang mulai
mengering, tak sengaja tergores pisau yang sangat tajam. Pisau yang mungkin baru
saja kau asah. Darahku pun bercucuran, lebih sakit dari luka sebelumnya.
Oktober. Aku menatap kosong. Tak ada
lagi warna, yang ada hanyalah abu-abu, kemudian perlahan berubah menjadi hitam.
Gelap. Aku terpejam.
November. Ada sosok yang memaksa untuk
membuka mataku. Mulai kulihat warna – warna baru. Hidupku menjadi penuh warna.
Ceria.
Desember. Aku memutuskan untuk menanti,
aku bukan memilih. Menanti uluran tangan Tuhan yang akan menuntunku menuju
jalan yang baik menurut-Nya. Biarkan harapan-harapan baru mulai tumbuh subur.
Diam – diam pula aku akan melangkah
pergi. Meninggalkan perih yang semakin hari semakin menyiksaku. Biarkan aku
bercengkerama bersama mimpi – mimpiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar